Friday, November 22, 2019

Resensi Novel Pergi-Tere Liye



https://bpa.pekanbaru.go.id/wp-content/uploads/2018/07/pergiii.png
IDENTITAS BUKU
Judul Buku                  : Pergi
Penulis                         : Tere Liye; Co-author: Sarippudin
Penerbit                       : Republika Penerbit
Jumlah Halaman          : iv + 455 halaman
Genre                          : Aksi, Drama
ISBN                           : 978-602-5734-05-2
Tahun Terbit                : April 2018 
Harga Buku                 : Rp. 79.000,- (di buku republika.id) 

SINOPSIS
Novel berjudul “Pergi”, yang merupakan sekuel dari novel sebelumnya, “Pulang”, yang terbit tahun 2015 lalu.
Sama halnya dengan novel sekuel lainnya, novel ini secara utuh akan menceritakan kelanjutan hidup si tokoh utama yang ada pada novel sebelumnya, Bujang a.k.a Si Babi Hutan a.k.a Agam, yang kini menjadi seorang Tauke Besar Keluarga Tong, salah satu dari delapan keluarga penguasa shadow economy terbesar se-Asia Pasifik, menggantikan Tauke Besar lama (cerita lengkapnya bisa dibaca pada novel Pulang). Mulai dari awal hingga akhir, kita akan disuguhkan dengan kisah yang latar tempat, suasana, dan tokohnya tidak asing lagi—bagi yang sudah membaca novel Pulang. Akan tetapi, sepertinya Tere Liye menyuguhkan sesuatu yang “berbeda” dibandingkan novel sebelumnya. Jika pada novel sebelumnya membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa dirinya “pulang”, maka pada novel ini akan membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Akan banyak cerita dan teka-teki masa lalu yang diungkapkan dalam perjalanan Bujang mencari tempat untuk ‘pergi’-nya.
... Sejatinya kemana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut. ‘Kamu akan pergi ke mana’, Nak?” (halaman 86).
Cerita ini diawali dengan sebuah lirik lagu Meksiko yang diterjemahkan oleh Salonga—guru menembak Bujang—dalam sebuah misi untuk menyelamatkan prototype teknologi anti serangan siber yang sedang dikembangankan oleh Keluarga Tong yang dicuri oleh El Pacho, sindikat penyelundup narkoba terbesar di Amerika Selatan, yang secara tidak langsung hal ini juga berhubungan dengan muslihat Master Dragon—salah satu penguasa Shadow Economy terkuat yang bermarkas di Hong Kong. Dalam misi tersebut Bujang ditemani oleh Salonga, White, serta si kembar;Yuki dan Kiko. Singkat cerita mereka bertemu dengan seorang lelaki misterius bertopeng khas tokoh terkenal, Zorro, dengan gitar yang diselempangkan di punggungnya. Lelaki misterius bertopeng tersebut menantang Bujang untuk berduel satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang berhak membawa prototype teknologi anti serangan siber tersebut. Dengan penuh kepercayaan diri Bujang menerima tantangan tersebut, akan tetapi, lelaki misterius bertopeng yang menjadi lawannya itu bukanlah lawan yang pantas untuk diremehkan. Kemisteriusan lelaki bertopeng tersebut semakin bertambah ketika pada saat-saat terakir sebelum ia menghilang, ia memanggil Bujang dengan panggilan “Hermanito”, yang memiliki arti “my little brother”.
Teka-teki tentang panggilan hermanito ini yang akan mengantar Bujang pada penelusurannya tentang kisah hidup bapaknya yang ia benci, termasuk kisah cinta bapaknya yang ternyata tidak hanya pada Midah, ibu Bujang. Teka-teki masa lalu ini pula yang akan mempengaruhi Bujang dalam menentukan ke mana ia akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Dalam novel ini, kisah percintaan paling dominan adalah tentang kisah cinta Samad bapak Bujang yang rumit. Tapi percayalah, justru kisah cinta ini yang akan menjadi salah satu bumbu penyedap yang menjadikan pembacanya ingin terus membuka lembar demi lembar. Kisah cinta yang disuguhkan akan terasa manis sekaligus pahit, sehingga kisah tentang bapak Bujang ini akan menjadi salah satu bagian yang paling ditunggu-tunggu.
Bukan hanya tentang kisah cinta, novel ini juga tidak akan lepas dari aksi-aksi Bujang, Keluarga Tong beserta aliansinya melawan Master Dragon beserta antek-anteknya. Yang juga saya suka dari novel ini adalah bagaimana Bujang menyampaikan ide-ide briliannya. Serta bagaimana Salonga menjelaskan banyak hal pada Bujang. Adegan perkelahian juga tidak akan lepas, meskipun porsinya menurut saya lebih sedikit jika dibandingkan dengan novel Pulang.
Tidak hanya melulu berlatar suasana tegang dan serius dari awal sampai akhir, dalam novel ini ada beberapa bagian yang akan membuat tertawa dan terhibur. Adanya tokoh-tokoh yang bertingkah kocak membuat pembaca bisa menikmati cerita dengan lebih santai dan tidak melulu berpikir serius. Salah satu bagian yang paling menghibur menurut saya adalah saat Salonga memrahi Bujang karena kalah dalam ronde pertama saat duel dengan Maria.
Konsentrasi! Fokus!Salonga mendengus, “Atau jangan-jangan kamu tak bisa mengedipkan mata melihat gadis cantik itu, hah? Terpesona melihat mata birunya?” (halaman 317).
Atau pada saat Yuki dan Kiko menggoda Payong di dalam mobil saat perjalanan menuju Ibu Kota
            “Astaga, aku dipanggil nyonya.Kiko  menepuk dahinya, “Apakah aku terlihat seperti ibu-ibu, heh? Bawa gelang emas sekilo, menor? Lihat penampilan kami sangat modis dan berjiwa muda”(halaman 68).

IKHTISAR
Dalam novel ini, pembaca akan bertemu dengan tokoh-tokoh lama yang sebelumnya ada di novel Pulang. Seperti yang disebutkan sebelumnya, tokoh-tokoh tersebut antara lain Salonga, Yuki dan Kiko, White, Tuanku Imam, Togar, Master Dragon, dan masih banyak lagi. Selain itu akan muncul pula tokoh lama yang tak disangka akan muncul kembali, Basyir. Lantas untuk apa Basyir kembali muncul? Apakah ia akan melakukan pengkhiatan lagi?
Pengembangan setiap karakter terjadi dengan sangat baik. Bujang yang menjadi Main Character pada kisah ini mengalami pengembangan yang luar biasa, ia berubah menjadi lelaki dewasa dengan tanggung jawab penuh sebagai Tauke Besar, oleh sebab itu akan ditunjukkan banyaknya pertimbangan Bujang dalam memecahkan masalah.
Salonga juga memiliki porsi yang banyak kemunculannya. Ia terus mendampingi Bujang mulai dari awal hingga akhir cerita. Kehadiran Salonga yang berperan sepertu teman sekaligus bapak ini menjadikan novel ini lebih meriah. Terlebih dengan penokohan Salonga yang suka meledek dan memarahi Bujang, entah mengapa itu menjadi humor tersendiri. Selain itu, tokoh lain seperti Yuki dan Kiko, Togar, White, dan lainnya memiliki porsi yang pas dalam cerita ini. Setiap karakter memiliki peranannya sendiri-sendiri yang saling melengkapi satu sama lain.
      Selain tokoh lama yang muncul, banyak juga tokoh baru yang baru muncul di novel Pergi ini. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya ialah Rambang, Lubai, Otets dan Maria, Hiro dan Kaeda Yamaguchi,Vasily, Yurii si pembuat bom, serta Diego dan Catrina yang memegang banyak rahasia, dan banyak tokoh lainnya. Semuanya dikisahkan dengan apik dan rapi, sehingga membuat pembaca tertarik dengan kisah yang dibawa oleh tokoh-tokoh baru tersebut.
Tidak hanya tokoh lama dan tokoh baru, Tere Liye nampaknya mulai senang memunculkan tokoh cameo dalam novelnya. Kali ini Thomas (tokoh dalam novel “Negeri di Ujung Tanduk” dan “Negeri Para Bedebah”) yang muncul membantu Bujang dalam suatu keadaan. Selain itu, nahkoda kapal Von Humboldt, yang bernama Philips, saya merasa yakin nahkoda tersebut adalah keturunan dari nahkoda kapal Blitar Holland yang ada pada novel “Rindu” yang juga bernama Philips. Hal ini tidak pertama kali dilakukan, sebab pada novel “Tentang Kamu”, Tere Liye juga memunculkan cameo pada novelnya. Dan menurut saya ini sangat menyenangkan membacanya, terlebih jika cameo-nya yang dimunculkan merupakan bagian dari universe kepenulisan Tere Liye. Antara novel satu dengan yang lain, tokoh satu dengan yang lain menjadi terasa dekat.
Bagi saya pribadi, tokoh yang paling saya senangi dalam novel Pergi ini adalah Salonga. Kehadiran Salonga untuk selalu menemani Bujang menurut saya sangat pas sebagai penasehat Bujang dan sebagai pemecah suasana. Beberapa kali saya sampai tertawa membaca dialog maupun situasi yang dimunculkan dari Salonga. Salah satu di antaranya adalah saat Bujang mengomel dalam hati karena Salonga mengomelinya gara-gara kalah dari Maria.
Astaga. Aku punya tiga guru penting dalam hidupku. Kopong, Guru Bushi, dan Salong. Dua sudah meninggal, menyisakan Salonga. Dan dialah guru paling menyebalkan yang pernah kumiliki. Dulu tak kurang ribuan kali dia memakiku bodoh, sekarang? Bukannya mendukungku, memberi motovasi, dia justru mengeluarkan kalimat menyebalkan itu (menggoda Bujang tentang Maria)”, halaman 317-318. Dan pada pembicaraan penting saat sunrise di kapal Van Humboldt,“atau minimal, jika kamu belum bisa menentukan hendak pergi ke mana, Moscow mungkin bisa jadi pilihan yang baik”, “Moscow?”, “yeah, Moscow. Ada seorang gadis cantik, pintar, dan berani yang telah menyerahkan hatiya kepadamu di sana, Bujang. Maria, namanya—kalau kamu lupa.Salonga terkekeh, “Hidupmu mungkin lebih berwarna setelah menikah.”halaman 396.
DESAIN COVER
      Desain cover depan pada novel ini menggambarkan jalanan perkotaan di sore hari dengan warna dasar biru tua. Mungkin yang dimaksud dalam gambar ini menyiratkan jalanan mana yang akan Bujang lalui untuk membawa Keluarga Tong dan dirinya “pergi”. Saya menyukai desain cover untuk novel Pergi ini.


KELEBIHAN
     Banyak sekali kelebihan yang bisa ditemui dalam novel ini. Di antaranya ialah, pertama, menambah kosa kata bahasa asing. Karena cerita ini akan membawa kita “jalan-jalan” ke banyak negara, maka tidak heran kalau banyak kosa kata bahasa asing yang menambah ke-khas-an dialog. Saya tidak bisa menyebutkan satu persatu kosa kata bahasa asing tersebut, akan tetapi kosa kata tersebut berasal dari bahasa Spanyol, Jepang, Inggris, serta Moscow. 
       Kedua berkenaan dengan penggunaan bahasa. Saya selalu menyukai gaya bahasa Tere Liye. Ini merupakan poin penting bagi saya. Tere Liye selalu berhasil menyederhanakan sesuatu yang rumit. Bahasa yang digunakan selalu lancar, sederhana, renyah, namun tetap indah. Setiap pemilihan katanya selalu pas dan membuat pembacanya merasa memiliki pengetahuan baru. Ini juga yang membuat saya jatuh cinta pada dunia kepenulisan Tere Liye. Penggunaan bahasanya bagi saya pas untuk semua orang. Meskipun beliau menulis novel ini bersama dengan co-author, akan tetapi saya merasa bahwa gaya bahasa yang digunakan sama dengan novel-novel karangan beliau sebelumnya.

KEKURANGAN 
     Saya yakin sepenuhnya, setiap tulisan manusia pasti memiliki kekurangan. Tak lepas pula dari novel ini. Kekurangan yang saya temukan dalam novel ini, pertama,tidak ada terjemahan pada setiap kosa kata asing. Baiklah, mungkin memang bagus untuk membuat pembaca penasaran sehingga mencari sendiri arti dari bahasa asing yang telah disampaikan, meskipun pula arti beberapa kosa kata akan dijelaskan secara tidak langsung pada dialog selanjutnya maupun narasi selanjutnya, akan tetapi menurut saya akan lebih mudah untuk dipahami jika dibuatkan catatan kaki di bagian bawah halaman atau dibuatkan glosarium di halaman belakang setelah epilog. Tidak semua pembaca rela jika keseruan membacanya menjadi terpotong untuk mencari arti satu-dua kata asing dalam novel karena penasaran arti kata yang disampaikan karakter cerita. Terutama pada tulisan dari bahasa Moscow, mohon maaf sekali, tidak semua orang bisa membaca tulisan dengan bahasa Moscow (termasuk saya, hehe). Jujur saja saya penasaran dengan bagaimana cara membaca dan arti dari kalimat tersebut, tapi sepertinya saya harus sedikit belajar dulu tentang bahasa itu, itu akan membutuhkan waktu. 
       Kedua, saya menemukan beberapa penulisan yang salah ketik. Meskipun tidak terlalu banyak dan tidak mempengaruhi isi cerita, akan tetapi ini bisa digunakan bahan koreksi. Berikut beberapa di antaranya. “Itu berarti pukul 19.00, pembunuh Kim harus sudah mati” (halaman149). Sepertinya yang dimaksud dalam kalimat tersebut bukan pembunuh Kim, akan tetapi pembunuh Rambang. Sebab bibi Kim--ibu Rambang--beliau ada di rumah bersama suaminya dan tidak meninggal. Selanjutnya, “...departemen, sesuai organisasi Keluara Tong” (halaman 160), seharusnya “Keluarga Tong”; “...tiga sedang hitam” (halaman 292), mungkin yang dimaksud “tiga sedan hitam”; “...tukang pukul Keluarag Lin” (halaman 368), seharusnya “Keluarga Lin”; “...sejauh 400meter” (halaman 383), seharusnya “400 meter”; dan “...alat komunikaskui” (halaman 427) , seharusnya “alat komunikasiku”. Akan tetapi, kesalahan-kesalahan ketik tersebut sangat manusiawi dan sama sekali tidak berdampak pada isi cerita. mungkin penulis dan editor sangat bersemangat saat mengerjakan naskah novel ini.

TOKOH
1. Bujang: berperan sebagai tokoh utama
2. Yuki dan Kiko: sebagai tokoh utama yang sifatnya menggemaskan dan centil
3. Salonga: berperan sebagai guru yang menembak Bujang
4. Lubai, Otets, Rambang, Maria, dan Hiro: sebagai tokoh pendamping
5. Kaeda, Yuri, Diego, Catrina, dan tokoh-tokoh lainnya yang ikut serta menyukseskan hingga akhir cerita.








No comments:

Post a Comment