Tahun Terbit : April 2018 Harga Buku : Rp. 79.000,- (di buku republika.id)
SINOPSIS
Novel berjudul “Pergi”, yang merupakan sekuel
dari novel sebelumnya, “Pulang”, yang terbit tahun 2015 lalu.
Sama halnya dengan
novel sekuel lainnya, novel ini secara utuh akan menceritakan kelanjutan hidup si
tokoh utama yang ada pada novel sebelumnya, Bujang a.k.a Si Babi Hutan a.k.a
Agam, yang kini menjadi seorang Tauke Besar Keluarga Tong, salah satu dari
delapan keluarga penguasa shadow economy terbesar
se-Asia Pasifik, menggantikan Tauke Besar lama (cerita lengkapnya bisa dibaca
pada novel Pulang). Mulai dari awal hingga akhir, kita akan disuguhkan dengan
kisah yang latar tempat, suasana, dan tokohnya tidak asing lagi—bagi yang sudah
membaca novel Pulang. Akan tetapi, sepertinya Tere Liye menyuguhkan sesuatu
yang “berbeda” dibandingkan novel sebelumnya. Jika pada novel sebelumnya
membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa dirinya “pulang”, maka pada
novel ini akan membahas tentang kemanakah Bujang akan membawa Keluarga Tong dan
dirinya sendiri “pergi”. Akan banyak cerita dan teka-teki masa lalu yang
diungkapkan dalam perjalanan Bujang mencari tempat untuk ‘pergi’-nya.
“... Sejatinya kemana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang
tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’?
Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan
hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut. ‘Kamu akan pergi ke mana’,
Nak?” (halaman 86).
Cerita ini diawali
dengan sebuah lirik lagu Meksiko yang diterjemahkan oleh Salonga—guru menembak
Bujang—dalam sebuah misi untuk menyelamatkan prototype teknologi
anti serangan siber yang sedang dikembangankan
oleh Keluarga Tong yang dicuri oleh El Pacho, sindikat penyelundup
narkoba terbesar di Amerika Selatan, yang secara tidak langsung hal ini
juga
berhubungan dengan muslihat Master Dragon—salah satu penguasa Shadow Economy terkuat yang bermarkas di
Hong Kong. Dalam misi tersebut Bujang ditemani oleh Salonga, White, serta si
kembar;Yuki dan Kiko. Singkat cerita mereka bertemu dengan seorang lelaki
misterius bertopeng khas tokoh terkenal, Zorro, dengan gitar yang
diselempangkan di punggungnya. Lelaki misterius bertopeng tersebut menantang
Bujang untuk berduel satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang berhak membawa
prototype teknologi anti serangan
siber tersebut. Dengan penuh kepercayaan diri Bujang menerima tantangan
tersebut, akan tetapi, lelaki misterius bertopeng yang menjadi lawannya itu
bukanlah lawan yang pantas untuk diremehkan. Kemisteriusan lelaki bertopeng
tersebut semakin bertambah ketika pada saat-saat terakir sebelum ia menghilang,
ia memanggil Bujang dengan panggilan “Hermanito”,
yang memiliki arti “my little brother”. Teka-teki tentang
panggilan hermanito ini yang akan mengantar
Bujang pada penelusurannya tentang kisah hidup bapaknya yang ia benci, termasuk
kisah cinta bapaknya yang ternyata tidak hanya pada Midah, ibu Bujang. Teka-teki
masa lalu ini pula yang akan mempengaruhi Bujang dalam menentukan ke mana ia
akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Dalam novel ini, kisah
percintaan paling dominan adalah tentang kisah cinta Samad bapak Bujang yang
rumit. Tapi percayalah, justru kisah cinta ini yang akan menjadi salah satu
bumbu penyedap yang menjadikan pembacanya ingin terus membuka lembar demi lembar.
Kisah cinta yang disuguhkan akan terasa manis sekaligus pahit, sehingga kisah
tentang bapak Bujang ini akan menjadi salah satu bagian yang paling
ditunggu-tunggu.
Bukan hanya tentang
kisah cinta, novel ini juga tidak akan lepas dari aksi-aksi Bujang, Keluarga
Tong beserta aliansinya melawan Master Dragon beserta antek-anteknya. Yang juga
saya suka dari novel ini adalah bagaimana Bujang menyampaikan ide-ide
briliannya. Serta bagaimana Salonga menjelaskan banyak hal pada Bujang. Adegan
perkelahian juga tidak akan lepas, meskipun porsinya menurut saya lebih sedikit
jika dibandingkan dengan novel Pulang.
Tidak hanya melulu
berlatar suasana tegang dan serius dari awal sampai akhir, dalam novel ini ada
beberapa bagian yang akan membuat tertawa dan terhibur. Adanya tokoh-tokoh yang
bertingkah kocak membuat pembaca bisa menikmati cerita dengan lebih santai dan
tidak melulu berpikir serius. Salah satu bagian yang paling menghibur menurut
saya adalah saat Salonga memrahi Bujang karena kalah dalam ronde pertama saat
duel dengan Maria.
“Konsentrasi! Fokus!” Salonga
mendengus, “Atau jangan-jangan kamu tak bisa mengedipkan mata melihat gadis
cantik itu, hah? Terpesona melihat mata birunya?” (halaman 317).
Atau pada saat Yuki dan Kiko menggoda
Payong di dalam mobil saat perjalanan menuju Ibu Kota
“Astaga, aku dipanggil nyonya.” Kiko
menepuk dahinya, “Apakah aku terlihat seperti ibu-ibu, heh? Bawa gelang
emas sekilo, menor? Lihat penampilan kami sangat modis dan berjiwa muda”(halaman
68).
IKHTISAR
Dalam novel ini,
pembaca akan bertemu dengan tokoh-tokoh lama yang sebelumnya ada di novel Pulang.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, tokoh-tokoh tersebut antara lain Salonga,
Yuki dan Kiko, White, Tuanku Imam, Togar, Master Dragon, dan masih banyak lagi.
Selain itu akan muncul pula tokoh lama yang tak disangka akan muncul kembali,
Basyir. Lantas untuk apa Basyir kembali muncul? Apakah ia akan melakukan pengkhiatan
lagi? Pengembangan setiap
karakter terjadi dengan sangat baik. Bujang yang menjadi Main Character pada kisah ini mengalami pengembangan yang luar
biasa, ia berubah menjadi lelaki dewasa dengan tanggung jawab penuh sebagai
Tauke Besar, oleh sebab itu akan ditunjukkan banyaknya pertimbangan Bujang
dalam memecahkan masalah.
Salonga juga memiliki porsi yang banyak
kemunculannya. Ia terus mendampingi Bujang mulai dari awal hingga akhir cerita.
Kehadiran Salonga yang berperan sepertu teman sekaligus bapak ini menjadikan
novel ini lebih meriah. Terlebih dengan penokohan Salonga yang suka meledek dan
memarahi Bujang, entah mengapa itu menjadi humor tersendiri. Selain itu, tokoh lain seperti Yuki dan
Kiko, Togar, White, dan lainnya memiliki porsi yang pas dalam cerita ini.
Setiap karakter memiliki peranannya sendiri-sendiri yang saling melengkapi satu
sama lain. Selain tokoh lama yang
muncul, banyak juga tokoh baru yang baru muncul di novel Pergi ini. Tokoh-tokoh
tersebut diantaranya ialah Rambang, Lubai, Otets dan Maria, Hiro dan Kaeda
Yamaguchi,Vasily, Yurii si pembuat bom, serta Diego dan Catrina yang memegang
banyak rahasia, dan banyak tokoh lainnya. Semuanya dikisahkan dengan apik dan
rapi, sehingga membuat pembaca tertarik dengan kisah yang dibawa oleh
tokoh-tokoh baru tersebut.
Tidak hanya tokoh lama
dan tokoh baru, Tere Liye nampaknya mulai senang memunculkan tokoh cameo dalam
novelnya. Kali ini Thomas (tokoh dalam novel “Negeri di Ujung Tanduk” dan
“Negeri Para Bedebah”) yang muncul membantu Bujang dalam suatu keadaan. Selain
itu, nahkoda kapal Von Humboldt, yang bernama Philips, saya merasa yakin
nahkoda tersebut adalah keturunan dari nahkoda kapal Blitar Holland yang ada
pada novel “Rindu” yang juga bernama Philips. Hal ini tidak pertama kali
dilakukan, sebab pada novel “Tentang Kamu”, Tere Liye juga memunculkan cameo
pada novelnya. Dan menurut saya ini sangat menyenangkan membacanya, terlebih
jika cameo-nya yang dimunculkan merupakan bagian dari universe kepenulisan Tere Liye. Antara novel satu dengan yang lain,
tokoh satu dengan yang lain menjadi terasa dekat.
Bagi saya pribadi, tokoh yang paling saya
senangi dalam novel Pergi ini adalah Salonga. Kehadiran Salonga untuk selalu
menemani Bujang menurut saya sangat pas sebagai penasehat Bujang dan sebagai
pemecah suasana. Beberapa kali saya sampai tertawa membaca dialog maupun
situasi yang dimunculkan dari Salonga. Salah satu di antaranya adalah saat
Bujang mengomel dalam hati karena Salonga mengomelinya gara-gara kalah dari
Maria.
“Astaga. Aku punya tiga guru penting dalam hidupku. Kopong, Guru Bushi,
dan Salong. Dua sudah meninggal, menyisakan Salonga. Dan dialah guru paling
menyebalkan yang pernah kumiliki. Dulu tak kurang ribuan kali dia memakiku
bodoh, sekarang? Bukannya mendukungku, memberi motovasi, dia justru
mengeluarkan kalimat menyebalkan itu (menggoda Bujang tentang Maria)”,
halaman 317-318. Dan pada pembicaraan penting saat sunrise di kapal Van Humboldt,“atau minimal, jika kamu belum bisa menentukan hendak pergi ke mana,
Moscow mungkin bisa jadi pilihan yang baik”, “Moscow?”, “yeah, Moscow. Ada
seorang gadis cantik, pintar, dan berani yang telah menyerahkan hatiya kepadamu
di sana, Bujang. Maria, namanya—kalau kamu lupa.” Salonga terkekeh, “Hidupmu mungkin lebih berwarna setelah menikah.”halaman
396.
DESAIN COVER Desain
cover depan pada novel ini
menggambarkan jalanan perkotaan di sore hari dengan warna dasar biru tua. Mungkin yang dimaksud dalam
gambar ini menyiratkan jalanan mana yang akan Bujang lalui untuk membawa Keluarga
Tong dan dirinya “pergi”. Saya menyukai desain cover untuk novel Pergi ini.
KELEBIHAN Banyak sekali kelebihan
yang bisa ditemui dalam novel ini. Di antaranya ialah, pertama, menambah kosa kata bahasa asing. Karena cerita ini akan
membawa kita “jalan-jalan” ke banyak negara, maka tidak heran kalau banyak kosa
kata bahasa asing yang menambah ke-khas-an dialog. Saya tidak bisa menyebutkan
satu persatu kosa kata bahasa asing tersebut, akan tetapi kosa kata tersebut
berasal dari bahasa Spanyol, Jepang, Inggris, serta Moscow. Kedua berkenaan
dengan penggunaan bahasa. Saya selalu menyukai gaya bahasa Tere Liye. Ini
merupakan poin penting bagi saya. Tere Liye selalu berhasil menyederhanakan sesuatu
yang rumit. Bahasa yang digunakan selalu lancar, sederhana, renyah, namun tetap
indah. Setiap pemilihan katanya selalu pas dan membuat pembacanya merasa
memiliki pengetahuan baru. Ini juga yang membuat saya jatuh cinta pada dunia
kepenulisan Tere Liye. Penggunaan bahasanya bagi saya pas untuk semua orang. Meskipun
beliau menulis novel ini bersama dengan co-author,
akan tetapi saya merasa bahwa gaya bahasa yang digunakan sama dengan
novel-novel karangan beliau sebelumnya.
KEKURANGAN Saya yakin sepenuhnya,
setiap tulisan manusia pasti memiliki kekurangan. Tak lepas pula dari novel
ini. Kekurangan yang saya temukan dalam novel ini,pertama,tidak ada
terjemahan pada setiap kosa kata asing. Baiklah, mungkin memang bagus untuk
membuat pembaca penasaran sehingga mencari sendiri arti dari bahasa asing yang
telah disampaikan, meskipun pula arti beberapa kosa kata akan dijelaskan secara
tidak langsung pada dialog selanjutnya maupun narasi selanjutnya, akan tetapi
menurut saya akan lebih mudah untuk dipahami jika dibuatkan catatan kaki di
bagian bawah halaman atau dibuatkan glosarium di halaman belakang setelah
epilog. Tidak semua pembaca rela jika keseruan membacanya menjadi terpotong
untuk mencari arti satu-dua kata asing dalam novel karena penasaran arti kata
yang disampaikan karakter cerita. Terutama pada tulisan dari bahasa Moscow,
mohon maaf sekali, tidak semua orang bisa membaca tulisan dengan bahasa Moscow
(termasuk saya, hehe). Jujur saja saya penasaran dengan bagaimana cara membaca
dan arti dari kalimat tersebut, tapi sepertinya saya harus sedikit belajar dulu
tentang bahasa itu, itu akan membutuhkan waktu. Kedua,
saya menemukan beberapa penulisan yang salah ketik. Meskipun tidak terlalu
banyak dan tidak mempengaruhi isi cerita, akan tetapi ini bisa digunakan bahan
koreksi. Berikut beberapa di antaranya. “Itu
berarti pukul 19.00, pembunuh Kim
harus sudah mati” (halaman149). Sepertinya yang dimaksud dalam kalimat
tersebut bukan pembunuh Kim, akan tetapi pembunuh
Rambang. Sebab bibi Kim--ibu Rambang--beliau ada di rumah bersama suaminya
dan tidak meninggal. Selanjutnya, “...departemen,
sesuai organisasi Keluara Tong”
(halaman 160), seharusnya “Keluarga Tong”; “...tiga sedang hitam”
(halaman 292), mungkin yang dimaksud “tiga sedan hitam”; “...tukang pukul Keluarag Lin” (halaman 368), seharusnya “Keluarga Lin”; “...sejauh 400meter”
(halaman 383), seharusnya “400 meter”; dan “...alat komunikaskui”
(halaman 427) , seharusnya “alat komunikasiku”. Akan tetapi, kesalahan-kesalahan ketik
tersebut sangat manusiawi dan sama sekali tidak berdampak pada isi cerita.
mungkin penulis dan editor sangat bersemangat saat mengerjakan naskah novel
ini.
TOKOH
1. Bujang: berperan sebagai tokoh utama
2. Yuki dan Kiko: sebagai tokoh utama yang sifatnya menggemaskan dan centil
3. Salonga: berperan sebagai guru yang menembak Bujang
4. Lubai, Otets, Rambang, Maria, dan Hiro: sebagai tokoh pendamping
5. Kaeda, Yuri, Diego, Catrina, dan tokoh-tokoh lainnya yang ikut serta menyukseskan hingga akhir cerita.
Judul Buku : Pergi
Harga Buku : Rp. 79.000,- (di buku republika.id)
SINOPSIS
Teka-teki tentang panggilan hermanito ini yang akan mengantar Bujang pada penelusurannya tentang kisah hidup bapaknya yang ia benci, termasuk kisah cinta bapaknya yang ternyata tidak hanya pada Midah, ibu Bujang. Teka-teki masa lalu ini pula yang akan mempengaruhi Bujang dalam menentukan ke mana ia akan membawa Keluarga Tong dan dirinya sendiri “pergi”. Dalam novel ini, kisah percintaan paling dominan adalah tentang kisah cinta Samad bapak Bujang yang rumit. Tapi percayalah, justru kisah cinta ini yang akan menjadi salah satu bumbu penyedap yang menjadikan pembacanya ingin terus membuka lembar demi lembar. Kisah cinta yang disuguhkan akan terasa manis sekaligus pahit, sehingga kisah tentang bapak Bujang ini akan menjadi salah satu bagian yang paling ditunggu-tunggu.
Pengembangan setiap karakter terjadi dengan sangat baik. Bujang yang menjadi Main Character pada kisah ini mengalami pengembangan yang luar biasa, ia berubah menjadi lelaki dewasa dengan tanggung jawab penuh sebagai Tauke Besar, oleh sebab itu akan ditunjukkan banyaknya pertimbangan Bujang dalam memecahkan masalah.
Selain tokoh lama yang muncul, banyak juga tokoh baru yang baru muncul di novel Pergi ini. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya ialah Rambang, Lubai, Otets dan Maria, Hiro dan Kaeda Yamaguchi,Vasily, Yurii si pembuat bom, serta Diego dan Catrina yang memegang banyak rahasia, dan banyak tokoh lainnya. Semuanya dikisahkan dengan apik dan rapi, sehingga membuat pembaca tertarik dengan kisah yang dibawa oleh tokoh-tokoh baru tersebut.
Desain cover depan pada novel ini menggambarkan jalanan perkotaan di sore hari dengan warna dasar biru tua. Mungkin yang dimaksud dalam gambar ini menyiratkan jalanan mana yang akan Bujang lalui untuk membawa Keluarga Tong dan dirinya “pergi”. Saya menyukai desain cover untuk novel Pergi ini.
Banyak sekali kelebihan yang bisa ditemui dalam novel ini. Di antaranya ialah, pertama, menambah kosa kata bahasa asing. Karena cerita ini akan membawa kita “jalan-jalan” ke banyak negara, maka tidak heran kalau banyak kosa kata bahasa asing yang menambah ke-khas-an dialog. Saya tidak bisa menyebutkan satu persatu kosa kata bahasa asing tersebut, akan tetapi kosa kata tersebut berasal dari bahasa Spanyol, Jepang, Inggris, serta Moscow.
Kedua berkenaan dengan penggunaan bahasa. Saya selalu menyukai gaya bahasa Tere Liye. Ini merupakan poin penting bagi saya. Tere Liye selalu berhasil menyederhanakan sesuatu yang rumit. Bahasa yang digunakan selalu lancar, sederhana, renyah, namun tetap indah. Setiap pemilihan katanya selalu pas dan membuat pembacanya merasa memiliki pengetahuan baru. Ini juga yang membuat saya jatuh cinta pada dunia kepenulisan Tere Liye. Penggunaan bahasanya bagi saya pas untuk semua orang. Meskipun beliau menulis novel ini bersama dengan co-author, akan tetapi saya merasa bahwa gaya bahasa yang digunakan sama dengan novel-novel karangan beliau sebelumnya.
Saya yakin sepenuhnya, setiap tulisan manusia pasti memiliki kekurangan. Tak lepas pula dari novel ini. Kekurangan yang saya temukan dalam novel ini, pertama,tidak ada terjemahan pada setiap kosa kata asing. Baiklah, mungkin memang bagus untuk membuat pembaca penasaran sehingga mencari sendiri arti dari bahasa asing yang telah disampaikan, meskipun pula arti beberapa kosa kata akan dijelaskan secara tidak langsung pada dialog selanjutnya maupun narasi selanjutnya, akan tetapi menurut saya akan lebih mudah untuk dipahami jika dibuatkan catatan kaki di bagian bawah halaman atau dibuatkan glosarium di halaman belakang setelah epilog. Tidak semua pembaca rela jika keseruan membacanya menjadi terpotong untuk mencari arti satu-dua kata asing dalam novel karena penasaran arti kata yang disampaikan karakter cerita. Terutama pada tulisan dari bahasa Moscow, mohon maaf sekali, tidak semua orang bisa membaca tulisan dengan bahasa Moscow (termasuk saya, hehe). Jujur saja saya penasaran dengan bagaimana cara membaca dan arti dari kalimat tersebut, tapi sepertinya saya harus sedikit belajar dulu tentang bahasa itu, itu akan membutuhkan waktu.
Kedua, saya menemukan beberapa penulisan yang salah ketik. Meskipun tidak terlalu banyak dan tidak mempengaruhi isi cerita, akan tetapi ini bisa digunakan bahan koreksi. Berikut beberapa di antaranya. “Itu berarti pukul 19.00, pembunuh Kim harus sudah mati” (halaman149). Sepertinya yang dimaksud dalam kalimat tersebut bukan pembunuh Kim, akan tetapi pembunuh Rambang. Sebab bibi Kim--ibu Rambang--beliau ada di rumah bersama suaminya dan tidak meninggal. Selanjutnya, “...departemen, sesuai organisasi Keluara Tong” (halaman 160), seharusnya “Keluarga Tong”; “...tiga sedang hitam” (halaman 292), mungkin yang dimaksud “tiga sedan hitam”; “...tukang pukul Keluarag Lin” (halaman 368), seharusnya “Keluarga Lin”; “...sejauh 400meter” (halaman 383), seharusnya “400 meter”; dan “...alat komunikaskui” (halaman 427) , seharusnya “alat komunikasiku”. Akan tetapi, kesalahan-kesalahan ketik tersebut sangat manusiawi dan sama sekali tidak berdampak pada isi cerita. mungkin penulis dan editor sangat bersemangat saat mengerjakan naskah novel ini.